Pasal 47 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan mendefinisikan dua tindak pidana terkait kerahasiaan informasi bank. Tindak pidana ini melibatkan berbagai pihak, termasuk pihak-pihak yang terafiliasi dengan bank tersebut. Memahami siapa saja yang termasuk dalam kategori pihak terafiliasi sangat penting untuk menegakkan hukum dan menjaga integritas sistem perbankan.
Pihak yang Dikategorikan sebagai Pihak Terafiliasi
Definisi pihak terafiliasi dalam konteks Pasal 47 UU Perbankan tidak secara eksplisit dijelaskan secara detail dalam undang-undang tersebut. Namun, berdasarkan interpretasi hukum dan praktik, beberapa pihak dapat dikategorikan sebagai pihak terafiliasi.
Kategori Pihak Terafiliasi berdasarkan Hubungan Organisasi dan Jabatan
Kategori pertama meliputi individu yang secara langsung terlibat dalam operasional dan pengambilan keputusan di bank. Ini termasuk anggota Dewan Komisaris, Direksi, dan seluruh jajaran pegawai bank. Mereka memiliki akses langsung terhadap informasi rahasia bank dan potensi untuk melanggar kerahasiaan tersebut.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Untuk bank yang berbentuk koperasi, kategori ini meluas hingga mencakup anggota pengurus, pengawas, pengelola, dan karyawan bank koperasi. Definisi dan ruang lingkupnya merujuk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi koperasi.
Kategori Pihak Terafiliasi berdasarkan Hubungan Bisnis dan Jasa
Kategori kedua mencakup entitas eksternal yang memiliki hubungan bisnis erat dengan bank dan akses terhadap informasi sensitif. Ini meliputi pihak yang memberikan jasa profesional kepada bank, seperti akuntan publik, penilai, konsultan hukum, dan konsultan lainnya.
Auditor eksternal juga termasuk dalam kategori ini karena perannya dalam memeriksa dan menilai kinerja keuangan bank. Keterkaitan erat ini membuat mereka memiliki akses terhadap informasi yang seharusnya dirahasiakan.
Kategori Pihak Terafiliasi berdasarkan Hubungan Kepemilikan dan Pengaruh
Kategori ketiga melibatkan pihak yang memiliki hubungan kepemilikan atau pengaruh signifikan terhadap bank. Ini termasuk pemegang saham mayoritas, keluarga dekat dari komisaris, direksi, dan pengurus bank. Pengaruh mereka dapat memengaruhi pengambilan keputusan dan akses terhadap informasi rahasia.
Bank Indonesia atau OJK dapat menentukan pihak lain yang turut serta mempengaruhi pengelolaan bank, bahkan jika tidak memiliki hubungan kepemilikan langsung. Pertimbangan ini didasarkan pada analisis menyeluruh atas pengaruh dan akses yang dimiliki suatu pihak terhadap bank.
Kategori Pihak Terafiliasi berdasarkan Hubungan Keuangan dan Pemberian Kredit
Kategori keempat didasarkan pada hubungan keuangan, terutama terkait dengan pemberian kredit. Pihak yang terkait karena adanya hubungan kepemilikan, kepengurusan, dan keuangan sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) termasuk dalam kategori ini. Tujuannya adalah untuk mencegah konflik kepentingan dan penyalahgunaan informasi.
Perusahaan anak (subsidiary) bank juga termasuk dalam kategori ini karena hubungan kepemilikan dan keterkaitan operasionalnya dengan bank induk. Hal ini memastikan bahwa seluruh entitas terkait tunduk pada peraturan yang sama terkait kerahasiaan informasi bank.
Peraturan Perundang-undangan Terkait Tindak Pidana Perbankan
Tindak pidana perbankan tidak hanya diatur dalam UU Nomor 10 Tahun 1998. Beberapa peraturan perundang-undangan lain juga berperan penting dalam membentuk kerangka hukum yang komprehensif.
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah mengatur tindak pidana serupa dalam konteks perbankan syariah. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menyediakan dasar hukum bagi tindak pidana umum yang mungkin terjadi dalam konteks perbankan, seperti penipuan atau penggelapan.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) juga relevan karena banyak tindak pidana perbankan dapat terkait dengan korupsi dan pencucian uang.
Peraturan Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berperan penting dalam pengawasan dan penegakan hukum di sektor perbankan. Peraturan ini mengatur berbagai aspek, termasuk batas maksimum pemberian kredit, tata kelola bank, dan ketentuan lain yang terkait dengan pihak terafiliasi.
Kesimpulannya, memahami definisi dan ruang lingkup pihak terafiliasi dalam konteks Pasal 47 UU Perbankan sangat krusial. Kerja sama antara berbagai lembaga dan penegakan hukum yang konsisten sangat diperlukan untuk memastikan integritas dan stabilitas sistem perbankan nasional.