Tragedi Kanjuruhan, yang terjadi pada 1 Oktober 2022, merupakan peristiwa mengerikan yang menelan banyak korban jiwa dan meninggalkan luka mendalam bagi Indonesia. Lebih dari sekadar angka kematian, tragedi ini menimbulkan dampak psikologis yang serius dan luas, memengaruhi korban selamat, keluarga korban, dan masyarakat luas. Dampaknya berlapis dan memerlukan penanganan komprehensif.
Keluarga korban yang kehilangan orang terkasih secara tiba-tiba mengalami kesedihan yang mendalam dan trauma berat. Rasa kehilangan ini seringkali diiringi perasaan bersalah (self-blaming), misalnya, merasa bertanggung jawab atas keputusan korban untuk menghadiri pertandingan. Jika tidak ditangani dengan tepat, perasaan ini dapat berujung pada depresi, kecemasan, bahkan gangguan jiwa yang serius.
Para korban selamat juga mengalami dampak psikologis yang signifikan. Gejala trauma seperti mudah terkejut, mimpi buruk tentang kejadian, sulit tidur (insomnia), dan perubahan perilaku seperti menghindari keramaian atau tempat umum sangat umum dijumpai. Banyak di antara mereka yang memenuhi kriteria Acute Stress Disorder (ASD) dan Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Gejala PTSD meliputi kilas balik (flashbacks) yang tidak terkendali, mimpi buruk berulang, menghindari hal-hal yang mengingatkan pada peristiwa traumatis, dan perasaan tertekan atau cemas yang berlebihan. ASD, yang merupakan pendahulu PTSD, memiliki gejala serupa, namun berlangsung hingga satu bulan setelah peristiwa traumatis. Perlu penanganan medis segera untuk mencegah ASD berkembang menjadi PTSD.
Data dari Tim Gabungan Aremania menunjukkan bahwa hampir 50% korban mengalami PTSD. Angka ini menunjukkan betapa seriusnya dampak psikologis tragedi ini. Perlu diingat bahwa angka ini mungkin hanya sebagian kecil dari keseluruhan jumlah korban yang membutuhkan bantuan psikologis, karena banyak yang tidak terdeteksi atau enggan mencari bantuan.
Tragedi Kanjuruhan menciptakan trauma kolektif di kalangan pecinta sepak bola Indonesia dan masyarakat luas. Kejadian ini menimbulkan kecemasan, rasa tidak aman, dan bahkan ketakutan untuk menghadiri acara publik, terutama pertandingan sepak bola. Peristiwa ini juga memperburuk citra keamanan publik dan meningkatkan rasa curiga terhadap institusi terkait.
Pemberitaan yang masif di media massa juga memperparah situasi. Paparan berulang tentang tragedi tersebut dapat memicu trauma sekunder bagi mereka yang tidak langsung terlibat. Perlu pendekatan yang bijaksana dari media dalam meliput peristiwa ini, agar tidak menambah beban psikologis masyarakat.
Reaksi masyarakat bisa bervariasi, dari rasa sedih dan simpati hingga kemarahan dan tuntutan keadilan. Semua reaksi ini merupakan hal yang wajar dan perlu dipahami sebagai bagian dari proses penyesuaian diri. Namun, penting untuk memastikan bahwa reaksi tersebut tidak berkembang menjadi kebencian yang destruktif.
Penanganan psikologis yang tepat dan berkelanjutan sangat penting untuk membantu korban, keluarga, dan masyarakat pulih dari trauma. Dukungan psikologis awal (DPA) harus diberikan segera setelah kejadian, berupa konseling dan pendampingan untuk membantu mereka memproses emosi dan mengatasi trauma.
Penanganan jangka panjang juga diperlukan. Ini bisa meliputi terapi individu atau kelompok, program rehabilitasi, dan dukungan sosial dari komunitas. Perlu kerjasama antar berbagai pihak, termasuk pemerintah, lembaga kesehatan mental, organisasi sosial, dan keluarga, untuk menciptakan sistem dukungan yang komprehensif dan berkelanjutan.
Selain itu, perlu adanya edukasi publik mengenai kesehatan mental dan pentingnya mencari bantuan profesional jika mengalami kesulitan. Masyarakat perlu dibekali dengan pengetahuan dan keterampilan untuk mengenali tanda-tanda gangguan psikologis dan mencari bantuan yang tepat.
Proses hukum yang transparan dan akuntabel juga merupakan faktor penting dalam penyembuhan trauma. Keadilan yang terwujud dapat memberikan rasa kepuasan dan penutupan bagi korban dan keluarga, serta mencegah kejadian serupa di masa mendatang.
Tragedi Kanjuruhan menyoroti pentingnya memperhatikan kesehatan mental dalam konteks kejadian traumatis berskala besar. Penanganan yang terintegrasi dan berkelanjutan sangat krusial untuk membantu para korban dan masyarakat pulih dari trauma dan membangun kembali kepercayaan diri serta rasa aman.
SwaraWarta.co.id - Michael Bay kembali menghadirkan ledakan adrenalin dalam film Ambulance, yang dirilis April 2022.…
SwaraWarta.co.id – Seringkali yang menjadi pertanyaan semua orang apakah Palestina sudah merdeka? Pertanyaan mengenai apakah…
SwaraWarta.co.id - Sebanyak 759 jemaah haji dan petugas haji dari kloter 43 dan 44 asal…
SwaraWarta.co.id - Seorang jemaah haji asal Kabupaten Malang, bernama Sukardi (67), dilaporkan hilang di Makkah, Arab…
SwaraWarta.co.id - Partisipasi Iran di Piala Dunia 2026 kini berada di ujung tanduk akibat eskalasi…
SwaraWarta.co.id - Kasus kecanduan judi online (judol) semakin meresahkan masyarakat. Di Rumah Sakit Jiwa (RSJ)…