Pada tahun 2020, Negara X dan Negara Y terlibat dalam sengketa wilayah perairan di Laut Z, yang kaya akan minyak dan gas. Sengketa ini memicu krisis diplomatik yang kompleks, melibatkan hukum laut internasional dan hukum diplomatik.
Analisis Hukum Laut dalam Sengketa Wilayah
Negara X mengklaim Laut Z berada di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE)-nya berdasarkan UNCLOS 1982, karena jaraknya 180 mil laut dari garis pantainya. UNCLOS mendefinisikan ZEE sebagai area hingga 200 mil laut dari garis pantai, di mana negara pantai memiliki hak eksklusif atas eksplorasi dan pemanfaatan sumber daya laut.
Namun, Negara Y berpendapat Laut Z merupakan bagian dari landas kontinennya, berdasarkan keterkaitan geologis dengan wilayah daratannya. UNCLOS juga mengakui hak negara pantai atas landas kontinen, yang dapat meluas hingga 350 mil laut jika memenuhi kriteria geologis tertentu dan disetujui Komisi Batas Landas Kontinen PBB (CLCS).
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Penentuan Batas Maritim Menurut UNCLOS 1982
UNCLOS menekankan pentingnya delimitasi maritim yang adil dan damai. Jika klaim ZEE negara-negara beririsan, seperti kasus Negara X dan Y, maka garis median (equidistance line) menjadi titik awal negosiasi. Garis median adalah garis yang setiap titiknya berjarak sama dari titik terdekat garis pantai kedua negara.
Namun, garis median dapat disesuaikan berdasarkan keadaan khusus, seperti panjang garis pantai, kondisi geografis, dan klaim historis yang dapat diverifikasi. Proses delimitasi harus memastikan hasil yang proporsional dan tidak menimbulkan ketidakadilan yang mencolok bagi salah satu pihak. Perlu diingat bahwa klaim historis harus didukung oleh bukti-bukti yang kuat dan konsisten dengan hukum internasional.
Apakah Klaim Kedua Negara Dapat Dibenarkan?
Klaim Negara X atas ZEE-nya dapat dibenarkan jika terbukti Laut Z berada dalam jarak 200 mil laut dari garis pantainya. Sebaliknya, klaim Negara Y atas landas kontinennya membutuhkan bukti geologis yang meyakinkan dan persetujuan dari CLCS. Dengan kata lain, kedua klaim bisa saja sah secara hukum, tetapi perlu diselesaikan melalui mekanisme delimitasi yang tercantum dalam UNCLOS.
Proses delimitasi dapat melibatkan negosiasi bilateral, mediasi oleh negara ketiga, atau penyelesaian melalui badan-badan internasional seperti International Tribunal for the Law of the Sea (ITLOS) atau International Court of Justice (ICJ). Kegagalan untuk mencapai kesepakatan damai dapat memicu eskalasi konflik dan merusak hubungan diplomatik.
Pelanggaran dan Penyelesaian Sengketa Maritim
Tindakan Negara Y yang menahan awak kapal penelitian Negara X menimbulkan pertanyaan mengenai pelanggaran hukum laut internasional. UNCLOS mengatur hak negara pantai untuk menegakkan hukum di ZEE dan landas kontinennya, termasuk penahanan kapal yang melanggar hukum. Namun, tindakan penegakan hukum harus proporsional dan sesuai dengan prosedur hukum internasional.
Penahanan tersebut hanya dapat dibenarkan jika kapal Negara X benar-benar berada di wilayah yurisdiksi Negara Y secara ilegal, dan Negara Y mengikuti prosedur hukum yang benar, termasuk memberikan perlakuan manusiawi kepada awak kapal. UNCLOS juga menekankan pentingnya “prompt release” (pembebasan segera) bagi kapal dan awak yang ditahan, kecuali ada alasan yang kuat untuk penahanan berkelanjutan.
Mekanisme Penyelesaian Sengketa Maritim dalam UNCLOS
UNCLOS menyediakan mekanisme penyelesaian sengketa yang berjenjang. Negara-negara yang bersengketa diwajibkan untuk mencoba menyelesaikan sengketa melalui negosiasi dan konsultasi. Jika gagal, UNCLOS menawarkan beberapa forum penyelesaian sengketa, antara lain ITLOS, ICJ, arbitrase ad hoc, dan arbitrase khusus.
ITLOS, khususnya, memiliki kekuasaan untuk menyelesaikan sengketa terkait UNCLOS. Setiap forum penyelesaian sengketa menawarkan prosedur yang berbeda, tetapi pada dasarnya bertujuan untuk mencapai solusi yang adil dan seimbang berdasarkan hukum laut internasional. Pilihan forum penyelesaian sengketa biasanya disepakati oleh negara-negara yang bersengketa.
Hukum Diplomatik dan Perlindungan Kedutaan
Serangan terhadap Kedutaan Besar Negara Y di ibu kota Negara X merupakan pelanggaran serius terhadap hukum diplomatik internasional, khususnya Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik. Konvensi ini secara tegas menyatakan bahwa gedung kedutaan dan stafnya harus dilindungi dari segala bentuk gangguan, kerusakan, atau serangan.
Negara penerima (dalam hal ini Negara X) bertanggung jawab untuk melindungi misi diplomatik asing di wilayahnya. Kegagalan untuk memberikan perlindungan tersebut merupakan pelanggaran kewajiban internasional Negara X. Negara X diwajibkan untuk melakukan penyelidikan, mengadili pelaku, dan mengambil langkah-langkah pencegahan untuk menghindari kejadian serupa di masa depan. Negara Y memiliki hak untuk menuntut pertanggungjawaban Negara X atas kegagalan melindungi kedutaannya.
Konvensi Wina 1961 dan Perlindungan Diplomatik
Konvensi Wina 1961 mengatur berbagai aspek terkait perlindungan diplomatik, termasuk inviolabilitas gedung kedutaan, kekebalan diplomat dari penangkapan dan penahanan, serta kewajiban negara penerima untuk mencegah gangguan terhadap misi diplomatik. Pelanggaran terhadap konvensi ini dapat menyebabkan sanksi diplomatik, termasuk pemutusan hubungan diplomatik.
Konvensi Wina juga mengatur prosedur penanganan sengketa diplomatik, yang dapat melibatkan negosiasi, mediasi, atau arbitrase. Penyelesaian sengketa tersebut harus berdasarkan hukum internasional dan prinsip-prinsip keadilan dan kesetaraan. Kegagalan untuk menyelesaikan sengketa secara damai dapat menyebabkan eskalasi konflik yang lebih luas.
Kesimpulannya, sengketa antara Negara X dan Negara Y menyoroti kompleksitas hukum laut internasional dan hukum diplomatik. Penyelesaian sengketa ini memerlukan komitmen dari kedua negara untuk menghormati hukum internasional, bernegosiasi dengan itikad baik, dan menggunakan mekanisme penyelesaian sengketa yang tersedia untuk mencapai solusi yang adil dan damai. Kegagalan untuk melakukannya dapat mengakibatkan konsekuensi serius bagi hubungan bilateral dan stabilitas regional.