Menjelang Pemilu 2024, partisipasi mahasiswa dalam mengawasi jalannya pemerintahan semakin meningkat. Mereka, sebagai agen perubahan, berperan penting dalam mengawasi eksekutif di luar jalur legislatif. Kritik mahasiswa mencerminkan budaya politik partisipatif yang berakar pada pendidikan dan kompetensi keilmuan mereka.
Berbagai isu serius menjadi perhatian mahasiswa. Salah satu isu krusial yang mendapatkan sorotan adalah netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN), TNI, dan Polri dalam proses Pemilu. Hal ini penting karena netralitas aparat menjamin pemilu yang adil, transparan, dan demokratis. Ketidaknetralan dapat berujung pada kecurangan, intimidasi, dan delegitimasi hasil pemilu.
Analisis Budaya Partisipan Mahasiswa: Studi Kasus Netralitas Aparatur Negara
Untuk menganalisis budaya partisipan mahasiswa, kita dapat melihatnya dari tiga perspektif: kognitif, afektif, dan evaluatif. Studi kasus ini menggunakan isu netralitas aparatur negara sebagai contoh.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Orientasi Kognitif
Orientasi kognitif berkaitan dengan pemahaman mahasiswa terhadap isu tersebut. Mahasiswa umumnya memiliki pemahaman yang baik karena akses mereka terhadap informasi melalui berita, diskusi publik, dan media sosial. Mereka memahami pentingnya netralitas aparatur berdasarkan konstitusi dan regulasi yang berlaku, serta menyadari dampak negatif jika netralitas dilanggar.
Orientasi Afektif
Orientasi afektif menyangkut sikap emosional mahasiswa. Mereka menunjukkan kepedulian dan keprihatinan atas potensi penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat negara. Rasa tanggung jawab mendorong mereka untuk berpartisipasi aktif dalam menjaga demokrasi. Kekecewaan terhadap ketidaknetralan sering diwujudkan dalam aksi demonstrasi atau kampanye di media sosial.
Orientasi Evaluatif
Orientasi evaluatif meliputi kemampuan mahasiswa dalam menilai dan memberikan solusi. Mereka mengkritik kebijakan pemerintah yang dinilai kurang tegas, mengevaluasi kinerja lembaga pengawas pemilu (Bawaslu, KPU), dan memberikan rekomendasi seperti pengawasan independen, sanksi yang lebih tegas, dan pendidikan politik bagi aparatur. Kritik mereka bukan hanya sekadar menunjuk masalah, tetapi juga menawarkan solusi konkret.
Efektivitas Kritik Mahasiswa dalam Mempengaruhi Proses Politik
Kritik mahasiswa memiliki peran strategis dalam proses politik Indonesia. Mereka bukan sekadar objek kebijakan, tetapi subjek aktif yang mengawasi dan mempengaruhi arah kebijakan pemerintah. Kritik mereka dapat memicu diskusi publik, mendorong transparansi, dan memaksa pemerintah untuk lebih responsif terhadap aspirasi masyarakat.
Efektivitas Kritik: Beberapa Aspek
Kritik mahasiswa meningkatkan kesadaran publik melalui berbagai saluran komunikasi, mendorong perubahan kebijakan melalui desakan dan advokasi, dan berfungsi sebagai kontrol sosial independen di luar lembaga formal. Namun, efektivitas ini menghadapi tantangan seperti represi dari aparat, kurangnya tindak lanjut pemerintah, dan fragmentasi gerakan mahasiswa.
Tantangan dan Hambatan
Represi dan intimidasi terhadap mahasiswa yang kritis seringkali terjadi. Kurangnya tindak lanjut dari pemerintah atas kritik yang disampaikan juga menjadi kendala. Selain itu, fragmentasi gerakan mahasiswa dapat melemahkan kekuatan advokasi mereka secara keseluruhan.
Kesimpulannya, kritik mahasiswa sebagai aspek evaluatif budaya politik partisipatif tetap relevan dan efektif dalam mempengaruhi proses politik Indonesia. Efektivitasnya akan meningkat jika dilakukan secara konsisten, terorganisir, dan berbasis data. Mahasiswa berperan penting dalam memperkuat demokrasi dan menjaga pemerintah agar tetap berjalan sesuai koridor hukum dan etika.
Mahasiswa memiliki potensi besar untuk mendorong perubahan dan perbaikan dalam sistem demokrasi Indonesia. Namun, partisipasi yang efektif memerlukan strategi yang matang, kerjasama antar elemen mahasiswa, dan dukungan dari masyarakat luas. Penting juga untuk mengembangkan kemampuan mahasiswa dalam analisis politik, advokasi, dan negosiasi untuk memaksimalkan dampak positif dari partisipasi mereka.
Perlu diingat bahwa peran mahasiswa sebagai agen perubahan harus dijalankan dengan bertanggung jawab dan etis. Kritik harus berbasis fakta dan data, dibangun dengan argumentasi yang kuat, dan dikomunikasikan dengan cara yang konstruktif dan tidak menimbulkan kerusuhan atau kekerasan.