SwaraWarta.co.id– Ibu kota Indonesia ini tidak hanya menghadapi masalah banjir tahunan, tetapi juga ancaman yang jauh lebih besar dan tenggelam secara perlahan.
Kombinasi memanasnya Bumi dan penurunan permukaan tanah membuat nasib Jakarta dalam bahaya nyata.
Laporan World Economic Forum (WEF) bahkan menyebut Jakarta mengalami penurunan tanah hingga 17 cm per tahun, menjadikannya salah satu kota yang paling cepat tenggelam di dunia.
ADVERTISEMENT
.SCROLL TO RESUME CONTENT
Penyebab Ganda: Laut Naik, Tanah Turun
Ancaman terhadap Jakarta datang dari dua front utama: global dan lokal.
- Naiknya Permukaan Air Laut Global
Pemanasan global menyebabkan gletser dan lapisan es di kutub mencair dengan kecepatan yang mengkhawatirkan. Data satelit terbaru membuktikan bahwa pencairan lapisan es Greenland dan Antartika Barat jauh lebih cepat dari perkiraan model-model ilmiah sebelumnya.
Akibatnya, volume air laut pun bertambah. Sebuah studi mengungkap, meskipun pemanasan global berhasil dibatasi hingga 1,5°C, kenaikan permukaan laut akan tetap berlanjut selama berabad-abad. Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat (NASA) memperkirakan permukaan laut global dapat naik sekitar 0,9 hingga 1,8 meter pada tahun 2100.
- Penurunan Muka Tanah yang Cepat
Di sisi lain, Jakarta juga tenggelam dari dalam. Fenomena penurunan muka tanah (land subsidence) adalah ancaman langsung yang kecepatannya jauh melampaui kenaikan air laut. Pusat permasalahan ini adalah eksploitasi air tanah yang berlebihan. Sekitar 60% kebutuhan air Jakarta masih bergantung pada air tanah, karena layanan air perpipaan belum menjangkau seluruh penduduk. Ketika air tanah diambil secara masif, lapisan sedimen di bawah tanah mengompak dan amblas.
Tingkat penurunan tanah ini tidak merata di seluruh Jakarta. Berikut rinciannya menurut data yang dilaporkan:
| Wilayah | Rata-Rata Penurunan Tanah per Tahun |
| Jakarta Utara | Hingga 25 cm |
| Jakarta Barat | 15 cm |
| Jakarta Timur | 10 cm |
| Jakarta Pusat | 2 cm |
| Jakarta Selatan | 1 cm |
Daerah yang paling parah terkena dampak adalah Jakarta Utara. Penelitian Institut Teknologi Bandung (ITB) menunjukkan, dalam 10 tahun terakhir, beberapa bagian wilayah tersebut telah mengalami penurunan hingga 2,5 meter. Bahkan, diprediksi 95% wilayah Jakarta Utara akan terendam air laut pada tahun 2050 jika tren ini terus berlanjut.
Dampak yang Sudah Terasa dan Upaya Mitigasi
Dampak dari krisis ini bukan lagi sekadar proyeksi. Banjir rob yang meluas di kawasan pesisir, seperti Muara Baru dan Cengkareng, adalah bukti nyata yang dapat disaksikan. Infrastruktur seperti jalan dan bangunan juga mengalami kerusakan akibat penurunan tanah yang tidak merata.
Pemerintah DKI Jakarta telah melakukan beberapa upaya untuk menahan laju ini, di antaranya:
- Larangan Penggunaan Air Tanah: Membatasi eksploitasi air tanah di wilayah-wilayah tertentu.
- Pembangunan Infrastruktur: Membangun tanggul laut dan sistem pompa untuk menahan air laut.
- Pemantauan: Memasang stasiun pemantauan penurunan tanah di tujuh lokasi untuk mengumpulkan data yang akurat.
Langkah yang paling monumental adalah keputusan pemerintah memindahkan ibu kota negara ke Kalimantan Timur (IKN). Keputusan ini, salah satunya, didorong oleh ancaman serius yang dihadapi Jakarta.
Ancaman Jakarta tenggelam adalah fakta, bukan mitos. Meskipun upaya fisik dan kebijakan terus dilakukan, solusi jangka panjang membutuhkan perubahan fundamental. Transisi dari ketergantungan air tanah ke air permukaan yang berkelanjutan, diperkuatnya pertahanan pesisir, dan kesadaran masyarakat untuk hidup lebih ramah lingkungan adalah kunci. Setiap detik sangat berharga untuk menyelamatkan Jakarta dari tenggelam sepenuhnya.











