SwaraWarta.co.id – Mengapa terdapat perbedaan mendasar antara lembaga keuangan konvensional dan lembaga keuangan syariah jelaskan?
Perdebatan mengenai Lembaga Keuangan Konvensional (LKK) dan Lembaga Keuangan Syariah (LKS) seringkali bermuara pada pertanyaan mendasar: Mengapa terdapat perbedaan yang signifikan di antara keduanya? Jawabannya terletak pada prinsip fundamental yang menjadi landasan operasional dan filosofi masing-masing lembaga.
Landasan Prinsip yang Berbeda
Perbedaan paling mendasar antara LKK dan LKS adalah prinsip pelaksanaan dan falsafah bisnisnya.
ADVERTISEMENT
.SCROLL TO RESUME CONTENT
LKK beroperasi berdasarkan prinsip ekonomi umum yang mengutamakan keuntungan maksimal bagi pemegang saham melalui mekanisme pasar. Regulasi utamanya adalah hukum nasional dan internasional yang berlaku.
Sebaliknya, LKS beroperasi di bawah prinsip Syariah Islam (hukum Islam) yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadis, serta diatur oleh fatwa ulama (Dewan Syariah Nasional/DSN). Prinsip ini menuntut semua aktivitas keuangan harus bebas dari unsur-unsur terlarang seperti:
- Riba (bunga atau tambahan yang tidak adil).
- Maysir (spekulasi atau perjudian).
- Gharar (ketidakjelasan atau ketidakpastian yang berlebihan dalam transaksi).
Oleh karena itu, LKS tidak hanya berorientasi pada profit, tetapi juga pada kepatuhan syariah, keadilan sosial, dan keberlanjutan ekonomi.
Mekanisme Keuntungan yang Kontras
Implikasi dari perbedaan prinsip ini terlihat jelas dalam mekanisme perolehan keuntungan dan hubungan dengan nasabah.
Pada LKK, sistem bunga (interest) adalah inti dari operasionalnya. Hubungan antara bank dan nasabah umumnya adalah kreditur dan debitur. Bank mendapatkan keuntungan dari selisih bunga pinjaman yang dibebankan kepada debitur dan bunga simpanan yang diberikan kepada kreditur. Besaran bunga seringkali ditetapkan di awal (tetap) dan menjadi komponen biaya utama.
Sementara itu, LKS mengharamkan bunga (riba). Sebagai gantinya, LKS menggunakan sistem Bagi Hasil (seperti Mudharabah atau Musyarakah) atau Margin Keuntungan (seperti Murabahah). Hubungan bank-nasabah adalah kemitraan (investor-pengelola dana) atau penjual-pembeli. Keuntungan bagi hasil bersifat variabel dan tergantung pada kinerja usaha yang dibiayai, sehingga lebih mencerminkan konsep keadilan dalam risiko.
Pengawasan dan Akad
Perbedaan juga tampak pada struktur pengawasan dan dasar perjanjian.
LKK diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Dewan Komisaris. Sedangkan LKS memiliki Dewan Pengawas Syariah (DPS) sebagai pengawas tambahan. DPS, yang terdiri dari ulama ahli ekonomi syariah, bertugas memastikan bahwa seluruh produk dan operasional LKS telah sesuai dengan prinsip syariah.
Dalam hal perjanjian formal, LKK menggunakan perjanjian pinjam-meminjam (berdasarkan hukum perdata). LKS menggunakan Akad yang spesifik dan beragam (misalnya: Wadiah untuk titipan, Mudharabah untuk investasi, Murabahah untuk jual beli), di mana setiap akad harus memenuhi rukun dan syarat syariah.
Dengan memahami perbedaan mendasar ini dari prinsip, mekanisme keuntungan (bunga vs. bagi hasil), hingga pengawasan dan akad kita dapat melihat mengapa LKK dan LKS menawarkan model keuangan yang berbeda untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, baik dari sisi ekonomi maupun keyakinan.











