Kasus sengketa merek “Predator” antara Acer Incorporated dan Wijen Chandra Tjia merupakan contoh menarik bagaimana pertimbangan hukum dapat memengaruhi keputusan terkait hak kekayaan intelektual. Kasus ini bermula dari penolakan Kemenkumham terhadap permohonan merek Acer, karena merek “Predator” sudah terdaftar atas nama Wijen Chandra Tjia. Acer kemudian mengajukan berbagai upaya hukum hingga akhirnya Mahkamah Agung (MA) memenangkan gugatan mereka.
Putusan MA membatalkan keputusan Kemenkumham dan mengizinkan Acer menggunakan merek “Predator”. Keputusan ini didasarkan pada beberapa pertimbangan penting yang perlu dipahami secara detail. Pertimbangan-pertimbangan tersebut menunjukkan kompleksitas dalam penerapan hukum merek, terutama terkait prinsip “first to file” dan konsep persamaan pada pokoknya.
Pertimbangan Mahkamah Agung dalam Kasus Merek “Predator”
MA mempertimbangkan beberapa faktor kunci dalam memutuskan kasus ini. Faktor-faktor ini tidak hanya berkaitan dengan regulasi merek, tetapi juga dengan prinsip keadilan dan praktik internasional.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Sifat Generik Kata “Predator”
MA menekankan bahwa kata “Predator” adalah kata generik yang berarti “pemangsa”. Kata ini bukan ciptaan atau istilah unik yang dapat diklaim secara eksklusif oleh satu pihak. Penggunaan kata generik sebagai merek memerlukan pertimbangan khusus karena dapat membatasi penggunaan kata tersebut secara luas. Ini berarti bahwa hak eksklusif atas kata “Predator” tidak bisa diberikan secara mutlak kepada Wijen Chandra Tjia.
Perbedaan Unsur Merek Secara Keseluruhan
Walaupun kedua merek menggunakan kata “Predator”, terdapat perbedaan signifikan dalam logo, warna, tipografi, dan keseluruhan presentasi merek. Acer menggunakan logo dengan kata “Predator” berwarna hitam di bawah logo utama mereka, sementara merek milik Wijen Chandra Tjia menggunakan warna merah dan posisi kata yang berbeda. Perbedaan ini cukup signifikan untuk membedakan kedua merek secara visual dan menghindari “confusing similarity”.
Hak Prioritas dan Penggunaan Internasional
Acer telah mendaftarkan merek “Predator” di berbagai negara dan telah menggunakannya di Indonesia sejak 2008, jauh sebelum pendaftaran merek Wijen Chandra Tjia. Meskipun sistem pendaftaran merek Indonesia menggunakan prinsip “first to file”, MA mempertimbangkan hak prioritas dan penggunaan nyata Acer. Prinsip “first to file” tidak diterapkan secara kaku, tetapi dipertimbangkan bersamaan dengan bukti penggunaan dan hak prioritas internasional.
Tidak Ada Persamaan pada Pokoknya
MA memutuskan bahwa merek Acer dan merek Wijen Chandra Tjia tidak memiliki persamaan pada pokoknya. Persamaan hanya terdapat pada kata “Predator” yang bersifat generik, sementara unsur visual dan keseluruhan desain merek cukup berbeda. Hal ini menunjukkan pemahaman MA yang komprehensif tentang definisi “persamaan pada pokoknya” dalam UU Merek.
Kesalahan Penerapan Hukum
MA mengkritik Kemenkumham dan Pengadilan Niaga atas kesalahan dalam menerapkan asas “first to file” dan kriteria persamaan pada pokoknya. Mereka dianggap mengabaikan hak prioritas Acer dan salah menilai kemiripan merek, sehingga menolak pendaftaran merek Acer secara tidak tepat. Kritik ini menandakan pentingnya interpretasi hukum yang tepat dan memperhatikan konteks secara menyeluruh.
Kesimpulan
Putusan MA dalam kasus merek “Predator” memberikan gambaran yang lebih jelas tentang bagaimana pertimbangan hukum yang komprehensif dapat menghasilkan keputusan yang adil dan konsisten dengan prinsip-prinsip kekayaan intelektual. Kasus ini menekankan pentingnya memperhatikan sifat generik suatu kata, perbedaan visual merek secara keseluruhan, hak prioritas internasional, dan interpretasi hukum yang tepat dalam sengketa merek.
Kasus ini juga memberikan pelajaran berharga bagi para pelaku usaha untuk memastikan perlindungan merek mereka secara komprehensif, termasuk pendaftaran internasional dan pemahaman yang mendalam tentang hukum merek di Indonesia.