Pada tahun 2016, terjadi sengketa merek dagang yang menarik perhatian publik, yaitu antara Acer Incorporated dan Wijen Chandra Tjia terkait merek laptop “Predator”. Kasus ini menjadi studi kasus penting dalam pemahaman hukum merek di Indonesia, khususnya terkait interpretasi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis.
Sengketa bermula dari penolakan Kemenkumham terhadap permohonan pendaftaran merek “Predator” oleh Acer Incorporated. Alasannya, merek tersebut telah terdaftar atas nama Wijen Chandra Tjia yang lebih dulu mengajukan permohonan. Acer, yang telah lama menggunakan merek “Predator” secara internasional, merasa keberatan dan mengajukan gugatan.
Gugatan Acer diajukan ke Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, namun ditolak. Acer kemudian mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Putusan MA menjadi titik balik dalam kasus ini, membatalkan keputusan Kemenkumham dan membuka jalan bagi Acer untuk menggunakan merek “Predator” di Indonesia.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Putusan Mahkamah Agung dan Pertimbangan Hukumnya
Keputusan MA yang menguntungkan Acer didasarkan pada beberapa pertimbangan hukum yang krusial. MA tidak menerapkan prinsip “first to file” secara kaku, melainkan mempertimbangkan sejumlah faktor penting lainnya.
Sifat Generik Kata “Predator”
MA menilai kata “Predator” sebagai kata umum atau generik yang berarti “pemangsa”. Kata tersebut bukanlah ciptaan eksklusif dan tidak layak mendapatkan perlindungan hak eksklusif merek secara mutlak. Penggunaan kata ini oleh berbagai pihak dalam konteks yang berbeda tidak lantas menimbulkan kebingungan di pasar.
Perbedaan Unsur Merek Secara Keseluruhan
Meskipun sama-sama menggunakan kata “Predator”, MA memperhatikan perbedaan signifikan antara merek Acer dan merek Wijen Chandra Tjia. Perbedaan logo, warna, tipografi, dan keseluruhan presentasi visual menciptakan citra merek yang berbeda dan meminimalisir potensi kebingungan di kalangan konsumen.
Logo Acer menampilkan kata “Predator” dengan warna dan tipografi tertentu, yang berbeda dengan logo milik Wijen Chandra Tjia. Hal ini menunjukkan adanya upaya pembedaan yang cukup signifikan, sehingga tidak terjadi persamaan pada pokoknya yang dapat membingungkan konsumen.
Hak Prioritas dan Penggunaan Internasional
Acer telah menggunakan merek “Predator” secara internasional sejak tahun 2008, jauh sebelum Wijen Chandra Tjia mendaftarkan mereknya di Indonesia. MA mempertimbangkan hak prioritas dan penggunaan nyata Acer ini, meskipun sistem pendaftaran merek Indonesia didasarkan pada prinsip “first to file”. Prinsip ini, menurut MA, tidak boleh diterapkan secara absolut tanpa memperhatikan fakta dan bukti penggunaan di lapangan.
Tidak Terjadinya Persamaan pada Pokoknya
MA menegaskan tidak adanya persamaan pada pokoknya antara merek Acer dan merek Wijen Chandra Tjia, seperti yang diamanatkan dalam Pasal 21 ayat (1) UU Merek. Persamaan hanya terletak pada kata “Predator” yang merupakan unsur generik, sedangkan unsur-unsur lain dalam merek secara keseluruhan berbeda.
Kesalahan Penerapan Hukum
MA menyoroti adanya kesalahan penerapan hukum oleh Kemenkumham dan Pengadilan Niaga. Kedua lembaga tersebut dinilai kurang cermat dalam menerapkan asas “first to file” dan kriteria persamaan pada pokoknya. Mereka mengabaikan bukti penggunaan merek oleh Acer dan keliru dalam menilai kemiripan merek secara keseluruhan.
Kesimpulan dan Implikasi
Putusan MA dalam kasus sengketa merek “Predator” ini memberikan dampak signifikan terhadap penerapan hukum merek di Indonesia. Putusan ini menegaskan pentingnya mempertimbangkan berbagai faktor, tidak hanya prinsip “first to file”, dalam menentukan hak atas merek. Pertimbangan faktor seperti sifat generik kata, perbedaan unsur merek secara keseluruhan, hak prioritas dan penggunaan nyata, serta analisis “persamaan pada pokoknya” menjadi hal-hal yang krusial dalam proses penegakan hukum merek dagang.
Kasus ini juga menyoroti perlunya kehati-hatian bagi para pelaku usaha dalam melakukan pendaftaran merek. Meskipun prinsip “first to file” berlaku, penting untuk memastikan merek yang didaftarkan tidak melanggar hak merek lain yang telah ada dan digunakan secara nyata. Konsultasi dengan ahli hukum kekayaan intelektual sangat dianjurkan untuk menghindari potensi sengketa di masa mendatang.
Lebih lanjut, kasus ini menjadi contoh bagaimana MA dapat meninjau kembali putusan pengadilan tingkat bawah dan memberikan interpretasi hukum yang lebih tepat dan komprehensif. Hal ini menunjukan sistem peradilan di Indonesia memiliki mekanisme untuk mengoreksi kesalahan hukum yang mungkin terjadi di tingkat pengadilan yang lebih rendah.