SwaraWarta.co.id – Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Arifah Fauzi, menegaskan bahwa praktik pernikahan anak adalah pelanggaran serius terhadap hak anak.
Pernyataannya disampaikan setelah kasus pernikahan anak terjadi di Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, di mana pengantin pria masih berusia 17 tahun dan mempelai wanita berusia 15 tahun.
“Ini jelas pelanggaran karena pengantin laki-lakinya berusia 17 tahun dan perempuannya 15 tahun,” ujarnya, Kamis (29/5/2025).
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Ia menyampaikan bahwa menikahkan anak berarti merampas hak mereka untuk mendapatkan pendidikan, perlindungan, serta tumbuh kembang secara sehat dan layak.
Menteri Arifah juga mengingatkan bahwa batas usia minimal menikah di Indonesia adalah 19 tahun, baik untuk laki-laki maupun perempuan.
Ketentuan ini sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Ia menambahkan bahwa memaksakan pernikahan anak tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga bisa dikenai sanksi pidana atau administratif.
Bahkan, menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022, memaksa anak menikah termasuk bentuk kekerasan seksual.
Arifah menekankan bahwa pernikahan anak bukan hanya persoalan keluarga semata, melainkan masalah sosial yang berdampak luas.
Praktik ini bisa menyebabkan anak putus sekolah dan meningkatkan risiko stunting (masalah pertumbuhan akibat kurang gizi).
Karena itu, negara harus hadir untuk memastikan anak-anak tumbuh di lingkungan yang aman dan mendukung perkembangan mereka. “Tujuannya agar mereka bisa menjadi generasi yang sehat dan cerdas di masa depan,” pungkasnya.