Kasus perpajakan Mr. Ajie, warga negara Maladewa yang bekerja sebagai narasumber di Indonesia tahun 2022, menyajikan studi kasus menarik terkait yurisdiksi perpajakan internasional. Selama tahun tersebut, ia melakukan 25 kegiatan sebagai narasumber, masing-masing selama 5 hari, dengan total penghasilan bruto Rp321.100.000.
Pertanyaan kunci yang muncul adalah bagaimana menentukan kewajiban pajak Mr. Ajie, baik di Indonesia maupun di Maladewa. Hal ini melibatkan pemahaman mengenai prinsip yurisdiksi sumber dan yurisdiksi domisili, serta perjanjian penghindaran pajak berganda (PPHB), jika ada.
Analisis Status Wajib Pajak Mr. Ajie
Berdasarkan ketentuan perpajakan Indonesia, Mr. Ajie diklasifikasikan sebagai Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN). Hal ini didasarkan pada beberapa faktor.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Kewarganegaraan
Mr. Ajie adalah warga negara Maladewa, bukan warga negara Indonesia (WNI). Status kewarganegaraan ini menjadi dasar pertimbangan utamanya.
Lama Tinggal
Meskipun menghabiskan 125 hari di Indonesia (25 kegiatan x 5 hari/kegiatan), masa tinggalnya kurang dari 183 hari dalam setahun. Batas 183 hari ini penting untuk menentukan status residensi pajak di Indonesia.
Ketidakhadiran Tempat Tinggal Tetap
Aktivitas Mr. Ajie di Indonesia bersifat sementara dan terbatas pada kegiatan sebagai narasumber. Tidak ada indikasi ia memiliki tempat tinggal tetap atau niat untuk menetap di Indonesia.
Yurisdiksi Pemajakan: Indonesia vs. Maladewa
Konflik yurisdiksi dapat muncul karena baik Indonesia maupun Maladewa berpotensi untuk memungut pajak dari penghasilan Mr. Ajie.
Yurisdiksi Sumber (Indonesia)
Indonesia memiliki hak untuk memungut pajak atas penghasilan yang bersumber dari wilayahnya. Dalam kasus ini, penghasilan Mr. Ajie berasal dari jasa yang diberikan di Indonesia.
Indonesia menerapkan prinsip sumber penghasilan untuk menuntut pajak atas penghasilan yang diperoleh di wilayahnya, terlepas dari kewarganegaraan pembayar pajak.
Yurisdiksi Domisili (Maladewa)
Maladewa, sebagai negara tempat tinggal tetap Mr. Ajie, juga dapat memungut pajak atas penghasilan globalnya berdasarkan prinsip domisili. Ini berarti Maladewa dapat menuntut pajak atas seluruh penghasilan yang diperoleh Mr. Ajie, termasuk penghasilan dari Indonesia.
Namun, untuk menghindari pemungutan pajak ganda, perjanjian penghindaran pajak berganda (PPHB) antara Indonesia dan Maladewa perlu dipertimbangkan. Jika ada PPHB, kesepakatan tersebut akan menentukan negara mana yang berhak memungut pajak dan bagaimana cara menghitungnya. Dalam kasus ini, asumsi yang digunakan adalah tidak adanya PPHB.
Perhitungan Pajak Penghasilan (PPh) Terutang
Mengacu pada peraturan perpajakan Indonesia dan asumsi tidak adanya PPHB, penghasilan Mr. Ajie dikenakan pajak penghasilan Pasal 26 dengan tarif 20% karena statusnya sebagai WPLN tanpa bentuk usaha tetap (BUT) di Indonesia.
Perhitungannya sebagai berikut:
PPh Terutang = Penghasilan Bruto x Tarif Pajak
PPh Terutang = Rp321.100.000 x 20% = Rp64.220.000
Pajak ini dipotong langsung oleh penyelenggara kegiatan di Indonesia sebagai pemotong pajak. Ini merupakan pajak final, artinya Mr. Ajie tidak perlu melaporkan kembali penghasilan ini dalam Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) Pajak Penghasilan.
Kesimpulan
Kasus Mr. Ajie mengilustrasikan kompleksitas perpajakan internasional. Meskipun Indonesia berhak memungut pajak atas penghasilan yang bersumber dari dalam negeri, potensi pemungutan pajak ganda perlu dipertimbangkan. Adanya atau tidak adanya PPHB antara Indonesia dan Maladewa akan sangat mempengaruhi perhitungan pajak final yang harus dibayarkan. Dalam skenario tanpa PPHB seperti pada kasus ini, PPh terutang Mr. Ajie sebesar Rp64.220.000 dipotong langsung oleh pihak pemberi kerja di Indonesia.
Penting bagi WPLN yang bekerja di Indonesia untuk memahami peraturan perpajakan yang berlaku agar dapat memenuhi kewajiban perpajakan mereka dengan benar dan menghindari potensi masalah hukum.