SwaraWarta.co.id – Puluhan calon pekerja migran Indonesia (PMI) menjadi korban dugaan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) di Kota Malang.
Kasus ini mendapat perhatian serius dari Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) yang mendesak aparat penegak hukum untuk mengusut tuntas jaringan kejahatan ini.
Menurut Dewan Pertimbangan SBMI, Dina Nuriati, sejak Maret lalu pihaknya menerima banyak laporan dari korban.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Mereka mengaku mengalami penipuan, eksploitasi kerja tanpa bayaran, hingga kekerasan fisik. Kasus ini disebut sebagai bentuk perbudakan modern.
Dina menyebut, selain di Banyuwangi, kasus serupa juga terjadi di penampungan calon pekerja migran yang dikelola PT NSP di daerah Sukun, Kota Malang.
“Kami menerima banyak pengaduan sejak Maret lalu. Kasusnya beragam, mulai dari penipuan, eksploitasi kerja tanpa upah, hingga dugaan penganiayaan yang mengarah pada perbudakan modern,” ujar Dina kepada wartawan, Selasa (29/4/2025).
Banyak korban yang awalnya dijanjikan kerja di luar negeri kini hidup tanpa kepastian. Mereka tidak hanya kehilangan dokumen penting seperti KTP, KK, ijazah, dan akta kelahiran, tapi juga mengalami tekanan mental karena perlakuan buruk yang diterima.
SBMI mendesak agar para pelaku dijatuhi hukuman berat. Saat ini, satu tersangka dari PT NSP sudah ditetapkan, namun mereka juga meminta agar Roy — suami dari tersangka HNR — segera ditangkap karena diduga terlibat dalam kasus serupa.
Menurut laporan SBMI, sebanyak 47 calon PMI yang ditampung di PT NSP awalnya dijanjikan bekerja di Hongkong. Namun, setelah menyerahkan dokumen pribadi, mereka justru tidak diberangkatkan dan malah dijadikan pekerja paksa.
Setelah penampungan mereka digerebek polisi, keberangkatan dibatalkan. Para korban kini menuntut ganti rugi sebesar Rp15 juta per orang sebagai kompensasi atas kerugian materiil dan waktu yang terbuang.
Salah satu korban asal Malang, H (21), mengaku mengalami kekerasan parah saat bekerja di rumah HNR.
Korban lain berinisial L asal Palembang juga menceritakan pengalamannya. Ia dan puluhan calon PMI lainnya dipaksa bekerja di warung selama 17 jam sehari tanpa bayaran. Mereka juga dipaksa mengupas 20 kilogram bawang per orang setiap hari. l
Karena kejadian itu, L kini harus bekerja sebagai pembantu rumah tangga dengan gaji kecil demi menafkahi keluarganya.
“Kami sudah berjuang keras untuk mencari nafkah. Tolong jangan biarkan kasus ini hilang begitu saja,” pungkasnya.