Judicial review merupakan pilar penting dalam sistem hukum Indonesia, berperan krusial dalam menjaga supremasi hukum dan melindungi hak-hak konstitusional warga negara. Namun, implementasinya seringkali diwarnai oleh dinamika politik yang kompleks, menciptakan tensi antara penegakan hukum dan kepentingan politik tertentu.
Secara ideal, judicial review seharusnya murni berlandaskan hukum, terlepas dari pengaruh politik. Mahkamah Konstitusi (MK) dan Mahkamah Agung (MA) bertugas memastikan peraturan perundang-undangan sesuai dengan hierarki norma hukum, terutama UUD 1945. Namun, realitanya, putusan seringkali diinterpretasikan sebagai hasil pertarungan kepentingan, bukan semata-mata interpretasi hukum semata.
Supremasi Hukum vs. Kepentingan Politik: Sebuah Keseimbangan yang Rawan
Supremasi hukum idealnya menempatkan hukum di atas segala-galanya, termasuk kepentingan politik. Judicial review menjadi instrumen untuk menjaga prinsip ini. Namun, dalam prakteknya, tekanan politik kerap mempengaruhi proses pengambilan keputusan yudisial. Hal ini dapat menyebabkan putusan yang kontroversial, bahkan menimbulkan pertanyaan tentang independensi lembaga peradilan.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Terdapat beberapa argumen yang mendukung klaim bahwa kepentingan politik mempengaruhi judicial review. Pertama, adanya potensi lobi politik kepada hakim, baik secara terang-terangan maupun halus, yang dapat memengaruhi putusan. Kedua, interpretasi hukum yang ambigu dapat dimanfaatkan untuk mencapai tujuan politik tertentu. Ketiga, pertimbangan politik yang dianggap ‘besar’ dapat mengalahkan aspek hukum formal dalam sebuah putusan.
Judicial Activism: Pedang Bermata Dua
Fenomena judicial activism di MK, yaitu penafsiran konstitusi yang progresif dan inovatif, menimbulkan pro dan kontra. Di satu sisi, hal ini memungkinkan adaptasi hukum terhadap perubahan sosial dan politik. Di sisi lain, hal ini juga berpotensi menimbulkan interpretasi yang subjektif dan membuka peluang manipulasi politik.
Judicial activism, jika tidak diimbangi dengan transparansi dan akuntabilitas yang tinggi, bisa menjadi alat untuk melegitimasi kepentingan politik tertentu. Penting untuk diingat bahwa kewenangan besar yang diberikan kepada lembaga peradilan harus diimbangi dengan mekanisme pengawasan yang kuat agar tidak disalahgunakan.
Contoh Kasus Kontroversial
Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang batas usia capres-cawapres menjadi contoh kasus yang kontroversial. Putusan ini menuai kritik karena dianggap menguntungkan pihak tertentu dan diyakini dipengaruhi oleh faktor non-hukum. Hal ini menimbulkan keraguan publik terhadap independensi dan integritas MK.
Kasus lain yang serupa adalah putusan terkait UU Cipta Kerja. Meskipun dinyatakan inkonstitusional dalam proses pembentukannya, UU tersebut tetap diberlakukan selama dua tahun. Putusan ini dianggap sebagai kompromi politik yang mengorbankan prinsip supremasi hukum demi menjaga stabilitas politik dan ekonomi.
Analisis Kritis Berdasarkan Teori Politik Hukum
Teori politik hukum menekankan keterkaitan hukum dengan konteks politiknya. Judicial review, dalam konteks ini, bukan hanya proses hukum semata, tetapi juga arena pertarungan kekuasaan. Idealnya, judicial review berfungsi sebagai ‘checks and balances’ untuk mencegah dominasi kekuasaan legislatif dan eksekutif.
Namun, ketika lembaga yudisial dipengaruhi kepentingan politik, fungsi pengawasan ini melemah. Hal ini dapat menyebabkan erosi kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan dan menciptakan ketidakpastian hukum. Putusan-putusan kontroversial yang muncul memperlihatkan bagaimana dinamika politik dapat secara signifikan mempengaruhi independensi yudisial.
Penguatan Independensi dan Transparansi
Untuk menjaga keseimbangan antara supremasi hukum dan kepentingan politik, perlu dilakukan penguatan independensi lembaga yudisial. Hal ini dapat dicapai melalui seleksi hakim yang ketat, peningkatan transparansi dalam proses pengambilan keputusan, dan penegakan kode etik yang tegas.
Masyarakat juga berperan penting dalam mengawasi kinerja lembaga peradilan. Partisipasi publik yang aktif dan kritis dapat mencegah penyimpangan dan memastikan judicial review berfungsi sesuai dengan tujuannya, yaitu menegakkan supremasi hukum dan keadilan.
Perlu juga dipertimbangkan untuk memperkuat lembaga pengawas eksternal terhadap lembaga peradilan, sehingga dapat memberikan penilaian independen dan objektif terhadap proses dan putusan judicial review. Hal ini akan meningkatkan akuntabilitas lembaga peradilan dan memperkuat kepercayaan publik terhadap sistem hukum Indonesia.
Kesimpulannya, judicial review di Indonesia merupakan proses yang kompleks dan dinamis. Meskipun idealnya berlandaskan supremasi hukum, tekanan politik kerap menjadi faktor yang mempengaruhi proses dan hasilnya. Penguatan independensi lembaga yudisial, transparansi, dan akuntabilitas yang efektif menjadi kunci untuk memastikan judicial review tetap berfungsi sebagai penjaga konstitusi dan keadilan.