SwaraWarta.co.id – Anda mungkin pernah mendengar tentang sate kuda atau sup kuda, terutama di beberapa daerah di Indonesia.
Namun, mengapa konsumsi daging kuda tidak sepopuler daging sapi atau ayam, dan muncul anggapan bahwa kenapa daging kuda dilarang? Ternyata, larangan ini lebih kompleks dan sering kali menjadi perdebatan sengit yang melibatkan faktor agama, budaya, dan sejarah.
Perdebatan Hukum dalam Islam
ADVERTISEMENT
.SCROLL TO RESUME CONTENT
Poin utama yang membuat daging kuda menjadi kontroversial adalah perbedaan pendapat di kalangan ulama Islam (fikih).
- Mayoritas Ulama (Mazhab Syafi’i, Hambali, dan Sebagian Maliki): Halal. Pendapat ini didukung oleh hadis sahih, salah satunya yang diriwayatkan dari Jabir RA: “Rasulullah SAW saat Perang Khaibar melarang makan daging keledai peliharaan dan membolehkan makan daging kuda.” Ini menunjukkan adanya kebolehan eksplisit dari Nabi Muhammad SAW.
- Mazhab Hanafi: Makruh (Tidak Disukai). Ulama dari mazhab ini berpendapat bahwa kuda diciptakan untuk ditunggangi, membantu perang, dan menjadi perhiasan (sebagaimana disebutkan dalam QS. An-Nahl ayat 8), sehingga kurang etis jika disembelih untuk dikonsumsi. Meski begitu, mereka tidak mengharamkannya secara mutlak, melainkan hanya makruh tanzih (tidak disukai, namun tidak berdosa).
- Sebagian Kecil Mazhab Maliki: Haram. Ada pula pendapat yang mengharamkan karena kuda dianggap sebagai alat transportasi dan perang yang penting.
Faktor Budaya dan Eksistensi
Jadi, jika secara agama mayoritas membolehkan, lalu kenapa daging kuda dilarang atau jarang dikonsumsi di Indonesia? Alasannya bergeser ke ranah budaya dan ekonomi:
- Status Kuda sebagai Hewan Kerja: Di Indonesia, kuda lebih dikenal sebagai hewan tunggangan, penarik delman, atau alat bantu di bidang pertanian dan olahraga. Menyembelihnya sering dianggap mengurangi aset vital.
- Ketersediaan dan Harga: Kuda bukan hewan ternak utama seperti sapi atau kambing. Ketersediaannya yang langka otomatis membuat harga dagingnya menjadi lebih mahal, sehingga kurang diminati pasar umum.
- Bukan Tradisi Kuliner Mayoritas: Kecuali di beberapa daerah seperti Jeneponto (Sulawesi Selatan) atau Nusa Tenggara, konsumsi daging kuda bukan merupakan tradisi kuliner sehari-hari, menjadikannya ‘asing’ bagi kebanyakan masyarakat.
Secara hukum dan ilmiah, daging kuda tidak secara resmi dilarang (kecuali di negara tertentu dengan alasan budaya atau pelestarian). Isu larangan yang beredar lebih disebabkan oleh perbedaan interpretasi agama dan dominasi budaya yang menempatkan kuda sebagai hewan penting, bukan sekadar sumber makanan.











