Swarawarta – Tokoh hukum nasional sekaligus mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan RI, Prof. Mahfud MD, menekankan pentingnya keterkaitan antara kualitas politik dan sistem hukum dalam sebuah negara.
Pernyataan itu ia sampaikan dalam acara Sekolah Nahdliyin Pergerakan (Sniper) yang diselenggarakan oleh Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) DKI Jakarta pada Sabtu, 28 Juni 2025, di Kantor PWNU DKI Jakarta.
“Kalau politik bagus, hukum bagus. Tapi memang kalau hukum ini ingin bagus, politiknya harus bagus. Tidak ada sejarahnya hukum bagus tapi politiknya kurang,” tegasnya.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Sebagai mantan Ketua Mahkamah Konstitusi dan sosok yang aktif dalam dunia hukum dan pemerintahan selama beberapa dekade terakhir, Mahfud menyoroti beberapa momen penting dalam sejarah bangsa sebagai bukti konkret keterkaitan tersebut.
Ia mencontohkan periode awal kemerdekaan Indonesia pada 1945–1959 yang menurutnya merupakan masa ketika sistem demokrasi terbuka berkembang pesat.
“Jadi ketika politik demokratis sampai tahun 1959, hukumnya bagus-bagus. Karena pada saat itu hampir semua undang-undang dibuat oleh DPR,” ungkapnya.
Saat itu, pembentukan partai-partai politik berlangsung bebas, serta lembaga DPR yang lahir dari BPKNIP (Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat) turut berperan aktif dalam legislasi.
Namun, Mahfud juga mencatat bahwa kemunduran sistem hukum nasional mulai terjadi setelah Presiden Soekarno mengeluarkan Dekret Presiden yang menandai peralihan ke sistem Demokrasi Terpimpin.
Ia menyebut bahwa sejak saat itu, kewenangan membuat undang-undang tidak lagi dimiliki bersama oleh DPR dan Presiden, melainkan bergeser menjadi sepenuhnya berada di tangan eksekutif melalui Peraturan Presiden (Perpres) yang bersifat sepihak