Judicial review merupakan instrumen fundamental dalam sistem hukum Indonesia, berfungsi memastikan peraturan perundang-undangan sesuai dengan hierarki norma hukum yang lebih tinggi. Mekanisme ini, yang terutama dijalankan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dan Mahkamah Agung (MA), sangat krusial dalam menjaga supremasi hukum dan menegakkan keadilan.
Namun, implementasi judicial review di Indonesia seringkali diwarnai dinamika politik. Interaksi antara supremasi hukum dan kepentingan politik membentuk keseimbangan yang kompleks dan seringkali menimbulkan kontroversi. Pemahaman mendalam tentang dinamika ini penting untuk menilai efektifitas sistem hukum Indonesia.
Supremasi Hukum vs. Kepentingan Politik dalam Judicial Review
Supremasi hukum menekankan hukum sebagai otoritas tertinggi, di atas kepentingan individu atau kelompok, termasuk pemerintah. Judicial review, idealnya, menjadi benteng pertahanan supremasi hukum ini. MK berwenang menguji undang-undang terhadap UUD 1945, sementara MA memeriksa peraturan di bawah undang-undang terhadap undang-undang induknya.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Namun, realitanya, kepentingan politik seringkali mempengaruhi proses dan hasil judicial review. Putusan seringkali dipandang sebagai hasil negosiasi antara berbagai kepentingan, bukan semata-mata interpretasi hukum yang murni. Ini menimbulkan pertanyaan mengenai sejauh mana independensi yudisial terjaga.
Judicial Activism dan Kritiknya
Fenomena judicial activism, di mana hakim secara aktif membentuk norma hukum baru untuk merespon perubahan sosial, seringkali memicu perdebatan. Meskipun dianggap progresif oleh sebagian pihak, judicial activism juga menuai kritik karena dianggap melampaui kewenangan yudisial dan dapat membuka peluang bagi kepentingan politik untuk masuk.
Kekhawatiran ini muncul karena hakim, meskipun idealnya independen, tetap manusia dengan latar belakang dan pandangan politik tertentu. Pengaruh ini bisa terlihat dalam penafsiran hukum yang cenderung mendukung kelompok atau kepentingan politik tertentu.
Contoh Kasus Kontroversial
Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait batas usia capres-cawapres menjadi contoh nyata kontroversi ini. Putusan ini, yang memungkinkan calon lebih muda mencalonkan diri, dianggap oleh sebagian pihak sebagai intervensi politik yang menguntungkan kelompok tertentu dan mengancam independensi MK.
Kasus lain adalah putusan MK terkait UU Cipta Kerja. Meskipun dinyatakan inkonstitusional dalam proses pembentukannya, UU tersebut tetap diberlakukan selama dua tahun. Keputusan ini menunjukkan kompromi antara aspek hukum dan kepentingan politik ekonomi yang dirasa mendesak oleh pemerintah.
Putusan Mahkamah Agung (MA) pun tak luput dari kritik. Beberapa putusan, seperti kasus-kasus pidana yang kontroversial, seringkali menimbulkan pertanyaan mengenai keadilan dan independensi MA. Terkadang, hukuman yang dianggap ringan menimbulkan persepsi bahwa ada intervensi non-hukum dalam proses peradilan.
Analisis Kritis Berbasis Teori Politik Hukum
Teori politik hukum menekankan keterkaitan erat antara hukum dan politik. Hukum tidak berdiri sendiri, melainkan produk dari interaksi kekuasaan dan kepentingan dalam masyarakat. Judicial review, dalam konteks ini, bukan sekadar proses teknis, melainkan arena pertarungan kepentingan.
Dalam sistem demokrasi yang ideal, judicial review berperan sebagai mekanisme checks and balances. Ia menjaga agar tidak ada satu pun cabang kekuasaan yang mendominasi. Namun, jika lembaga yudisial terpengaruh kepentingan politik, mekanisme ini menjadi tidak efektif. Independensi yudisial menjadi kunci keberhasilan judicial review.
Penguatan Independensi Yudisial dan Transparansi
Penguatan independensi yudisial sangat penting untuk menjaga integritas judicial review. Hal ini meliputi seleksi hakim yang transparan dan berintegritas, perlindungan terhadap intervensi politik, dan mekanisme pengawasan yang efektif.
Transparansi dalam pengambilan keputusan juga krusial. Proses pertimbangan hakim harus terbuka dan dapat diakses publik, sehingga masyarakat dapat menilai obyektivitas putusan. Akuntabilitas hakim terhadap putusan yang dikeluarkan juga perlu ditingkatkan.
Kesimpulan
Judicial review di Indonesia menghadapi tantangan besar dalam menyeimbangkan supremasi hukum dan kepentingan politik. Meskipun idealnya menjadi instrumen penegakan hukum yang independen, realitas menunjukkan pengaruh politik yang cukup signifikan. Penguatan independensi yudisial, transparansi, dan akuntabilitas menjadi kunci untuk memastikan judicial review berfungsi sebagai penjaga konstitusi dan keadilan di Indonesia.
Masyarakat sipil dan media massa memiliki peran penting dalam mengawasi jalannya judicial review. Kritik dan pengawasan publik dapat menjadi penyeimbang dan mencegah penyimpangan dari prinsip-prinsip keadilan dan supremasi hukum.