kuliner

Bubur Suro: Tradisi Kuliner Penuh Makna di Tahun Baru Hijriyah

SwaraWarta.co.id – Tahun Baru Hijriyah bukan hanya sekadar pergantian kalender dalam Islam, tapi juga menjadi momen penting untuk mengenang sejarah dan tradisi.

Di Jawa Tengah, ada satu tradisi yang masih bertahan hingga sekarang, yaitu menyajikan dan menyantap bubur suro.

Bubur ini bukan sembarang makanan, karena memiliki makna dan filosofi yang dalam bagi masyarakat setempat.

ADVERTISEMENT

.

SCROLL TO RESUME CONTENT

Mengutip dari situs resmi Pemerintah Daerah DIY, berikut beberapa fakta menarik tentang bubur suro sebagai hidangan khas Tahun Baru Islam:

1. Sudah Ada Sejak Zaman Sultan Agung

Bubur suro ternyata sudah dikenal sejak masa pemerintahan Sultan Agung di Kerajaan Mataram. Setiap tanggal 1 Muharam, bubur ini disajikan sebagai simbol rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa.

2. Mengingat Kisah Nabi Nuh AS

Selain sebagai bentuk syukur, bubur suro juga dikaitkan dengan kisah Nabi Nuh AS. Konon, makanan ini dibuat untuk mengenang keselamatan Nabi Nuh dan para pengikutnya setelah 40 hari terombang-ambing di atas banjir besar. Kisah ini menjadi latar belakang munculnya tradisi menyantap bubur suro.

3. Warna Bubur yang Berbeda di Tiap Daerah

Bubur suro tidak selalu berwarna sama. Di Semarang, misalnya, bubur ini berwarna kuning karena dimasak dengan kunyit dan berbagai rempah-rempah khas. Warna kuning ini juga memiliki makna tersendiri, yaitu sebagai lambang kemuliaan dan harapan baik.

4. Dihidangkan dengan Aneka Lauk Pelengkap

Bubur suro bukan hanya bubur polos, tapi disajikan lengkap dengan berbagai lauk. Beberapa pelengkap yang umum disajikan antara lain:

  • Sambal goreng
  • Kering tempe
  • Irisan telur
  • Kacang goreng
  • Serundeng kelapa
  • Suwiran ayam

Kombinasi ini membuat bubur suro kaya rasa dan menggugah selera.

5. Setiap Pelengkap Punya Makna Tersendiri

Menariknya, setiap lauk yang disajikan bersama bubur suro punya arti filosofis. Misalnya, kedelai hitam goreng melambangkan sifat setia dan sikap baik yang senantiasa mengikuti nasihat orang tua atau sesepuh.

Tradisi bubur suro bukan hanya tentang makanan, tapi juga bentuk penghormatan terhadap sejarah, budaya, dan ajaran agama. Melestarikan tradisi ini berarti turut menjaga warisan leluhur yang sarat nilai-nilai kebaikan.

Dwi Synta

Dwi Synta Mengawali karir di bidang jurnalistik sejak tahun 2022 di beberapa media online. Kemudian pada bulan Juli 2022, memutuskan untuk menjadi jurnalis Tetap di Swarawarta dan beberapa media online lainnya.

Recent Posts

Polresta Bandara Soetta Berikan Keadilan Restoratif kepada Kakek 68 Tahun yang Mencuri untuk Biaya Pengobatan Istri

swarawarta.co.id - Polresta Bandara Soetta mengambil langkah luar biasa dengan menerapkan keadilan restoratif (restorative justice)…

2 hours ago

Warganet Mengkritik Rencana Pajak E-commerce di Instagram Sri Mulyani

swarawarta.co.id - Rencana pemerintah untuk memungut pajak kepada pedagang di platform e-commerce seperti Shopee, Tokopedia,…

3 hours ago

Pantai Jumiang Pamekasan Terendam Banjir Rob, Ditutup Sementara

SwaraWarta.co.id - Objek wisata Pantai Jumiang yang berada di Desa Tanjung, Kecamatan Pademawu, Kabupaten Pamekasan,…

3 hours ago

Kejagung Periksa Istri Komisaris Utama Sritex dalam Kasus Dugaan Korupsi

swarawarta.co.id - Kejaksaan Agung (Kejagung) memeriksa Megawati, istri Komisaris Utama PT Sri Rejeki Isman Tbk…

3 hours ago

Sumber Nogo, Kolam Alami Bening di Tengah Hutan Pinus Ngawi

SwaraWarta.co.id - Ingin berenang di kolam alami dengan air sejernih kaca? Kamu bisa menemukannya di…

3 hours ago

Raisa Rilis Lagu Baru Bareng Rony Parulian, Berjudul “Tetap Bukan Kamu”

SwaraWarta.co.id - Penyanyi ternama Raisa kembali menghadirkan karya terbarunya yang terasa lebih pribadi dan emosional.…

3 hours ago